Dia yang tak
tertandingi kesaktiannya dalam memainkan busur panah.
Dia yang
begitu mudahnya memikat hati para wanita yang memandangnya.
Dia yang
merupakan keturunan Batara Indra, pemimpin para dewa penguasa khayangan.
Dia yang
menjadi kesayangan gurunya karena paling cakap dalam menerima pengajaran.
Dia yang bijaksana
layaknya Yudhistira, namun juga perkasa layaknya Bima.
Dialah putra
ketiga Pandu, salah seorang dari lima Pandawa, Arjuna.
*
Sebagai
salah satu tokoh yang memiliki begitu banyak kelebihan, Arjuna seakan-akan
perlambang figur yang sempurna. Bijaksana dalam berpikir dan bertutur kata,
juga cakap dalam berperang dan memainkan senjata. Namun muncul pertanyaan,
apakah Arjuna memang merupakan sosok mulia yang tanpa cela? Adakah sisi gelap
yang dimiliki oleh Arjuna?
Ternyata seorang Arjuna pun tak luput dari
sifat iri
Ya, dia iri saat
melihat ada orang yang mampu menyaingi kemampuannya dalam memanah. Tersebutlah nama
Ekalaya, seseorang yang telah bertekad untuk menjadi pemanah terbaik. Demi
mimpinya, dia melakukan perjalanan menuju Hastinapura untuk bisa berguru pada Drona,
guru dari para Pandawa dan Kurawa, yang memiliki kesaktian dalam menggunakan berbagai
macam senjata perang. Namun kesungguhannya itu ternyata tak membuat Drona menyanggupi
permintaannya. Drona menolak mengangkat Ekalaya sebagai murid. Setelah ditolak oleh
Drona dan diusir dari Hastinapura, Ekalaya berlatih secara sembunyi-sembunyi di
bawah ‘pengawasan’ patung Drona yang dipahatnya sendiri di hutan.
Melihat kemampuan
yang dicapai Ekalaya berkat kesungguhannya berlatih, Arjuna menjadi resah. Dia
khawatir akan ada orang lain yang mampu menandingi, bahkan melebihi dirinya dalam
memanah. Disebabkan kegundahan murid kesayangannya, akhirnya sang guru Drona mengunjungi
Ekalaya untuk meminta dirinya mempersembahkan ibu jarinya sebagai wujud bakti dirinya
sebagai murid yang telah menerima pengajaran. Ekalaya pun tak dapat menolak permintaaan
sosok yang dianggap sebagai gurunya tersebut. Dengan tangan yang cacat, kemampuan
memanah Ekalaya tak lagi sama seperti sebelumnya. Tentu saja hal ini membuat
hati Arjuna senang.
Ternyata seorang Arjuna pun pernah melakukan
kecurangan.
Ya, dia
sempat mengabaikan nilai keadilan yang selama ini dia jadikan pedoman. Peristiwa
itu terjadi saat Bharatayudha, perang besar antara Pandawa dan Kurawa yang
menewaskan begitu banyak nyawa. Tepatnya pada hari ketujuh belas Bharatayudha. Saat
itu, pihak Pandawa menurunkan Arjuna sebagai panglima perangnya. Sedangkan Kurawa
menjagokan Karna sebagai tandingan Arjuna. Pertarungan pun berlangsung sengit,
kemampuan dan kesaktian Karna ternyata setara dengan Arjuna. Mereka saling
beradu panah dengan menaiki kereta kudanya masing-masing.
Tiba-tiba,
kereta kuda yang dinaiki Karna terperosok. Dia turun dan berusaha mengangkat
roda keretanya yang terbenam ke dalam tanah. Melihat kejadian itu, Arjuna
sempat ragu untuk melanjutkan perlawanan. Dia tahu bahwa seharusnya pertarungan
antara dua ksatria dilakukan dalam kondisi yang adil bagi keduanya, saat
keduanya memang siap untuk bertempur. Namun karena didorong oleh Krisna yang
saat itu menjadi saisnya dan amarah yang disebabkan oleh banyaknya korban yang tewas akibat perang, akhirnya
Arjuna melepaskan panah yang langsung menghabisi nyawa Karna.
Ternyata seorang Arjuna pun memiliki
kesombongan dalam hatinya.
Ya, dia gugur
saat mendaki Mahameru bersama keempat saudaranya karena memiliki kesombongan di
dalam hatinya. Di antara kelima Pandawa, dia merasa dirinyalah yang paling
tampan dan tak tertandingi kesaktiannya dibandingkan saudara-saudaranya yang
lain. Arjuna mengembuskan nafas terakhirnya setelah kedua saudaranya yang
kembar, Nakula dan Sadewa, tak mampu lagi melanjutkan perjalanan hingga ke puncak.
Dari Arjuna,
kita belajar bahwa tiada manusia yang sempurna. Meski di satu sisi boleh jadi
kita memiliki banyak kelebihan, di sisi lain kekurangan itu niscaya adanya.
-Atha Rasyadi-
No comments:
Post a Comment