Catatan Perjalanan: Proyek Film Pendek 1

Pada pertemuan sebelumnya, Komunitas Kunta Wijaya sepakat untuk membuat sebuah film pendek yang berisikan pendapat masyarakat umum mengenai wayang. Rencananya, film ini berdurasi sekitar 10 menit dan menampilkan apa yang ada di pikiran orang-orang seputar wayang. Nah sebagai batasan, kami menentukan dua pertanyaan besar yang akan menjadi arahan topik pembicaraan dalam film ini. Kedua pertanyaan tersebut adalah:

1. Apa yang kamu ketahui tentang wayang?
2. Apa harapanmu terhadap wayang ke depannya?

FYI, film pendek ini merupakan proyek perdana kami lho! Kami semua bersepakat untuk menjalani proyek ini setelah membicarakannya dengan cukup matang. Salah satu tujuannya adalah menjadikan pendapat-pendapat masyarakat yang kami peroleh sebagai pertimbangan KW dalam menyusun alternatif strategi kampanye wayang yang menarik bagi masyarakat luas. Saat itu, terpilih lah Iwan sebagai penanggung jawab proyek ini serta Tiwi sebagai wakilnya.

Film ini nantinya dibuat dengan menggunakan peralatan (seadanya) yang dimiliki oleh anggota komunitas. Contohnya, SLR 1100D milik Tiwi dan Tyo yang dengan baik hati mau mengajukan kameranya untuk digunakan dalam proses pembuatan film ini. Sebelum proyek  benar-benar dimulai, mereka bertiga (Iwan, Tyo, dan Tiwi) melakukan duduk bersama untuk merencanakan detil dan teknis film pendek yang akan dibuat. Hasilnya, komunitas KW akan melakukan wawancara ke sekitar 50 orang yang berasal dari berbagai kalangan. Kemudian sebagai reward dari wawancara, kami akan memberikan sebuah pin. Pin ini dibuat oleh Kak Rahma yang sangat berbakat dalam hal desain grafis.

Hunting Responden

Lokasi perdana yang menjadi tempat kami ‘berburu’ responden adalah Bundaran HI dan sekitarnya. Kami memilih lokasi Car Free Day (CFD) tersebut tentu saja bukan tanpa alasan. Bagi teman-teman yang sudah sering ke sana, pasti tahu kalau wilayah Sudirman-Thamrin, khususnya sekitar Bundaran HI, berubah menjadi lautan manusia sesaat setiap pagi hari Minggu. Hal ini akan memudahkan kami dalam mencari responden. Alasan lainnya adalah pengusul lokasi memang suka bersepeda ke sana tiap akhir pekan. Sekalian olahraga jadinya. :p


Tepatnya pada Minggu 20 Oktober 2013. Kami seharusnya  mulai mencari responden pada pukul 07.00 pagi. Namun apa mau dikata, janji tinggallah janji. Sebagian besar anggota datang dengan melewati batas waktu yang telah ditentukan. Saat semua yang bisa datang sudah hadir, kami berdelapan (Atha, Iwan, Wening, Tiwi, Rahma, Melly, Udin, dan Mahfut) merapat sebentar untuk membicarakan teknis pengambilan gambar. Awalnya, sempat terjadi kebingungan dan kegalauan mengenai teknis wawancara sehingga waktu pengambilan video menjadi molor. Namun, kami berhasil menentukan sikap dengan membagi kelompok menjadi dua dan menyebar ke daerah yang berbeda. Kelompok A terdiri dari Udin, Mahfut, Rahma, dan Melly yang menggunakan kamera Tyo. Sedangkan kelompok B terdiri dari Atha, Iwan, Tiwi, dan Wening. Kami mencari orang yang mau diwawancara terkait dua pertanyaan yang telah kami tentukan serta direkam memakai kamera. Tentu saja kami menanyai terlebih dahulu kesanggupan mereka.

Kami semua berputar-putar di daerah CFD selama kurang lebih satu jam dan mendapatkan 16 orang yang mau diwawancarai. Entah kenapa, rasanya seperti sedang mencari responden untuk penelitian atau skripsi. Tentu saja respon positif dari orang yang kami tawari merupakan reward tersendiri bagi kami semua. Setelah cukup lelah berjalan berkeliling, kami lalu menuju tempat tinggal Iwan yang berada di daerah Thamrin untuk beristirahat dan membersihkan diri. Rencana kami selanjutnya adalah mengunjungi Museum Wayang di Kota Tua untuk melihat pertunjukan yang digelar oleh Komunitas Wayang Beber. Selain menonton, kami juga ingin sedikit berbincang soal wayang dengan Komunitas Wayang Beber. Akan tetapi, karena hunting responden di CFD sebelumnya memakan waktu yang cukup lama, ditambah kelelahan para anggota, akhirnya kami memutuskan untuk langsung menuju tempat ketiga dari rencana kami hari itu, yaitu Taman Cattleya (dekat Mall Taman Anggrek).

Pada hari itu juga, di Taman Cattleya diadakan sebuah kegiatan gathering antar berbagai perkumpulan dan komunitas. Beberapa komunitas yang kami temui di sana di antaranya; komunitas historia, komunitas wild life fotografi, komunitas parkour, dan sebagainya. Awalnya, kami juga berniat untuk mencari orang yang mau diwawancarai untuk film pendek kami di sana. Namun sayang, waktu yang ada tidak kami gunakan dengan optimal. Kami lebih banyak menghabiskan waktu kami dengan berbincang-bincang dengan perwakilan komunitas-komunitas lain serta duduk-duduk santai sambil ngobrol  dan menikmati kudapan yang sudah kami siapkan. Semacam piknik lah, karena kami juga menggelar tikar yang kami bawa dari tempat Iwan. :p

Tak terasa, waktu maghrib telah datang. Perjalanan kami hari itu pun usai. Kami semua kembali ke rumah masing-masing mengingat kegiatan esok Senin yang tidak dapat diliburkan. Walau lelah berjalan seharian, pengalaman hari itu sangat menyenangkan bagi kami semua. :)


Mohon doakan ya agar proyek perdana film ini dapat kami selesaikan dengan baik!


-Pratiwi Wandansari & Atha Rasyadi-

Kisah Dewi Trijata

Masih ingat kisah cinta segitiga Sri Rama, Dewi Sita, dan Rahwana dalam epos epik berjudul Ramayana?
Merujuk pada artikel sebelumnya mengenai infografik Ramayana, dalam artikel ini penulis ingin mengungkapkan kisah tersembunyi dari Ramayana, yang bukan berasal dari tokoh utama, yang jarang terekspos, namun cukup dapat memberikan pelajaran moral untuk kita para pembaca.
Kisah apa itu?



"Dewi Trijata"


Kisah ini adalah kisah dari Dewi Trijata, yang merupakan seorang perempuan cantik berwatak pemberani dan merupakan putri dari Wibisana, adik dari Rahwana. Dewi Trijata diberi tugas oleh Rahwana untuk menjaga dan melayani Dewi Sita yang saat itu ditahan di Alengka. Dewi Trijata, yang juga adalah seorang wanita, paham betul perasaan Dewi Sita sehingga kemudian Dewi Sita banyak bercerita mengenai kepedihan dan kesedihannya, kerinduannya terhadap suaminya, serta kebenciannya terhadap Rahwana.



“ Dewi Sita dan Dewi Trijata di taman Asoka”



Dewi Trijata selalu mendengarkan dan melayani Dewi Sita dengan sungguh-sungguh, bahkan ia rela menjadi tameng penghalang diantara Dewi Sita dan Rahwana ketika pamannya itu sedang marah karena Dewi Sita terus-menerus menolak ajakannya untuk memadu kasih. Saking marahnya, Rahwana meluncurkan kutukan pada Dewi Trijata bahwa di masa depan ia akan menikah dengan seekor kera tua. Betapa sedihnya Dewi Trijata setelah Rahwana melontarkan kutukan pada dirinya seperti itu, namun kemudian Dewi Sita menghiburnya dengan mengatakan bahwa ia akan memohon kepada Dewata supaya setidaknya anak dari Dewi Trijata nanti akan menikah dengan Raja.

Selain mengenai kutukan, kisah cinta Dewi Trijata bisa dibilang cukup menyedihkan. Kisah cintanya diawali dengan seringnya ia mendengarkan cerita-cerita Dewi Sita tentang kesaktian suaminya Rama, dan kesetiaan dan ketangguhan Laksmana, adik Rama. Dewi Trijata tertarik dengan cerita-cerita Dewi Sita mengenai Laksmana, dan ketertarikan itu berbuah menjadi cinta meskipun ia belum pernah bertemu ataupun mengenal Laksmana secara langsung. Kesempatan untuk bertemu langsung dengan Laksmana datang ketika Dewi Sita meminta tolong pada Dewi Trijata untuk memeriksa kebenaran mengenai berita kematian Rama dan Laksmana yang tersebar di Alengka.

Dewi Trijata menyanggupi permintaan Dewi Sita dan berangkat menuju perkemahan milik pasukan Rama. Setiba di perkemahan, Dewi Trijata bertemu langsung dengan Laksmana dan benar-benar jatuh cinta. Namun, sangat disayangkan Laksmana harus menolak Dewi Trijata karena ia telah bersumpah tidak akan menyentuh wanita. Dewi Trijata yang sangat kecewa memutuskan untuk kembali ke Alengka. Namun, di tengah perjalanan ia bertemu dengan Jembawan yang jatuh cinta pada Dewi Trijata. Jembawan sejatinya adalah manusia setengah kera yang merupakan pengasuh dan pengikut Hanoman. Jembawan sadar dirinya sudah tua dan tidak sesuai dengan perempuan secantik Dewi Trijata, sehingga ia meminta kepada Dewata untuk mengubah penampilannya menjadi mirip dengan Laksmana. Dewi Trijata yang saat itu sedang dirundung kekecewaan hebat terhadap Laksmana, langsung terpikat pada Jembawan tanpa banyak berpikir.
 
Kejadian mengenai adanya Laksmana palsu terdengar oleh Rama sehingga ia mengutus Laksmana adiknya yang asli untuk menyelesaikan masalah tersebut. Singkat cerita, Laksmana asli berhasil menang atas pertarungan dengan Jembawan dan wujud aslinya pun terkuak. Sri Rama yang mengetahui hal itu akhirnya menikahkan Jembawan dengan Dewi Trijata, selain karena Jembawan sangat berjasa dalam perang melawan Alengka, ia juga sungguh-sungguh mencintai Dewi Trijata. Dewi Trijata tersadar bahwa kutukan yang ia dapat dari Rahwana benar-benar terjadi, sehingga meskipun ia tidak benar-benar mencintai Jembawan (karena cintanya pada Laksmana) ia rela menikah dengan Jembawan, yang melahirkan seorang putri jelita bernama Jembawati. Jembawati ini nantinya akan menikah dengan Prabu Kresna, Raja Dwarawati.

Dalam wayang versi Jawa, Dewi Trijata diceritakan jatuh cinta pada Hanoman ketika Hanoman sedang melaksanakan tugas dari Rama untuk melihat keadaan Dewi Sita. Jembawan disini menyamar menjadi Hanoman, namun Dewi Trijata dapat melihat bahwa Jembawan yang menyamar itu bukanlah Hanoman yang sebenarnya. Diceritakan pula, secara tidak sengaja, Hanoman dan Dewi Trijata menciptakan anak yang tidak disadarinya dan bernama Trigangga, dimana nantinya Trigangga membantu Rama dalam perang melawan Alengka.

Sepanjang hidupnya, penulis melihat, Dewi Trijata jarang merasa bahagia. Berbeda dengan Dewi-dewi dan putri-putri raja lainnya, Dewi Trijata hidup di negara yang berisi raksasa-raksasa berwatak menyeramkan. Meskipun demikian, ia dapat memilih jalan hidupnya menjadi seseorang yang baik hati dan pemberani. Kisah cintanya juga tergolong menyedihkan, dimana ia harus rela menjalani hidupnya bersama orang yang tidak benar-benar ia inginkan. Disini sedikit terlihat bahwa perempuan lebih mengutamakan perasaan daripada logika, yaitu saat Dewi Trijata dihadang oleh Jembawan yang menyamar menyerupai Laksmana. Ia tidak berpikir cukup panjang bagaimana mungkin Laksmana yang sudah menolaknya dan bersumpah untuk tidak menyentuh wanita, bisa hadir di hadapannya dan mau berkasih-kasih dengannya. Akibatnya ia harus menikah dengan Jembawan dan memiliki anak bernama Jembawati.

Pesan moral yang paling kuat dari cerita ini adalah, sepanjang kehidupan ini, kita tidak selalu berhasil memperoleh hal-hal yang kita inginkan. Meskipun oleh kita sendiri tampaknya baik, namun belum tentu itu baik di mata yang lain. Ada hal-hal yang tidak bisa kita peroleh semuanya, meskipun sudah bekerja keras. Manusia hanya bisa berencana dan berusaha sebaik yang ia bisa, namun hasil akhirnya hanya Tuhan yang bisa menentukan.

Terimakasih sudah membaca! J


-Pratiwi Wandansari-

Catatan Perjalanan: Belajar Mendongeng!

Tanggal 26 Oktober kemarin, Komunitas Wayang Kunta Wijaya kembali mengadakan pertemuan. Kali ini tempatnya di acara Festival Dongeng Indonesia 2013 yang diadakan oleh Ayo Dongeng Indonesia di Perpustakaan UI. 

Apa saja yang kami lakukan? Baiklah kita mulai saja catatan perjalanan kali ini

Hari sabtu dimulai dengan semangat ceria para anggota Kunta Wijaya di grup Whatsapp karena baru membaca dan mengomentari kisah Utari dari Mput di malam sebelumnya. Keesokan paginya, beberapa anggota komunitas kami, yaitu Mput, Dodo, Nda, dan Ashma bertemu untuk menjalankan visi pertama kami pada hari itu. Mereka berempat langsung mencari responden untuk proyek pertama kami di wilayah UI hingga Zuhur menjelang. Alhamdulillah, berhasil mendapatkan 7 korban responden untuk project kita tercinta~


Di waktu Zuhur, Sang Monyet serta bunga dara Kunta Wijaya, Tiwi, datang untuk bergabung. Ini dia penampakan kami....


Setelah foto2, kita makan2, dan kita melanjutkan kegiata utama kami pada hari itu, ikut Kelas Dongeng!!! XD

Kelas dongeng tersebut dimulai pada jam 13.30 sampai dengan 15.00. Kami diajarkan mendongeng oleh Kak Aio, alumnus PSIP UI 2006 yang juga pencetus Belalang Kupu-kupu (komunitas dongeng PSIP) dan mentor mendongengnya KODAI (Kelompok Dongeng Anak Indonesia). Saking serunya, waktu satu setengah jam itu nggak kerasa!! Di kelas itu, kami belajar banyak hal. Mulai dari cara melihat ekspresi pendengar, cara memberikan ekspresi yang terbaik dalam mendongeng, sampai cara memperhatikan detail-detail kecil yang mungkin terjadi saat kita mendongeng. Saya teringat perkataan dari Kak Aio di kelas mendongeng itu. 

“Kata siapa mendongeng itu gampang? Tapi mendongeng juga nggak susah! Saya yakin, semua orang pasti bsia mendongeng!” –Kak Aio-



Saat acara ini berlangsung, anggota komunitas kami yang lainnya, yaitu tukang foto Iwan hadir untuk bergabung. Setelah kelas mendongengnya usai, kami berkumpul bersama KODAI. Kami bertemu dengan Sang ketua yang penuh senyum, Permadi, sang pecinta anak kecil yang penuh semangat, Viktor, dan sang wanita cantik yang penuh keceriaan, Aning. Kita saling bertukar kisah mengenai awal perjuangan kita masing-masing. KODAI juga mengajak Kunta Wijaya untuk ikut latihan mendongeng rutin yang mereka adakan setiap hari Sabtu. Mereka juga akan membantu kita untuk menyederhanakan kisah-kisah wayang yang rumit itu menjadi kisah menarik nan sederhana bagi anak-anak. ^__^ (baik banget yah mereka~)



Semoga kontribusi kita terhadap kebudayaan di Indonesia, khususnya wayang bisa terus berkembang. Bagi yang tertarik, mari bergabung :)

Sekian perjalanan Kunta Wijaya kali ini. Sampai jumpa lagi di kisah perjalanan berikutnya, ya!

-Yofiandhy Dwi Indrayana-

Pertemuan Kedua : Pameran Lukisan & Rencana Proyek Perdana

Dalam perjalanan kali ini, awalnya kami berencana untuk mengunjungi Galeri Cipta II dan Planetarium di TIM Cikini, Jakarta Pusat. Tujuan TIM kami pilih karena di sana, tepatnya di Galeri Cipta II, sedang digelar pameran lukisan yang bertemakan tentang wayang. Sedangkan Planetarium dijadikan destinasi karena ternyata banyak anggota kami yang tertarik untuk pergi ke sana (bahkan ada yang belum pernah sama sekali ke Planetarium). Akan tetapi, salah seorang teman yang juga merupakan anggota KW2 mengabarkan bahwa Planetarium pada tanggal tersebut akan ditutup sehingga kami terpaksa tidak bisa ke sana.

Nah, berikut ini adalah liputan singkat mengenai perjalanan kami yang menggelora. Sila disimak :)
 
Kami saling berjanji untuk bertemu di depan Galeri Cipta II pukul 10.00 pagi pada hari Minggu tanggal 13 Oktober 2013. Pada pertemua kali ini, anggota komunitas yang ikut ternyata lebih banyak dari pertemuan sebelumnya. Anggota yang dapat hadir saat itu adalah sang pembentuk komunitas Kakak Atha dan sohib pecinta monyetnya Yofi, sastrawan Tyo, blogger kita Wening, Ashma bukan Afika, pembuat onar Tiwi, ahli mecin Udin, pembantu umum Iwan, putri keraton Ayu, dan terakhir adalah Mahfut sang pencerah yang datang menyusul.
 

Pameran Tunggal Lukisan Wayang (Galeri Cipta II, TIM)

Aktivitas pertama yang kami lakukan adalah melihat-lihat Galeri Cipta II yang di dalamnya terdapat pameran tunggal lukisan karya Bapak Agus Nuryanto. Lukisan-lukisan yang dibuat oleh Pak Agus dalam pameran tersebut terinspirasi dari kebudayaan wayang. Sebagian besar dari lukisannya diambil dari adegan-adegan dalam kisah pewayangan Mahabharata dan Ramayana. Namun, ada juga lukisan yang diambil dengan tema bebas, namun objek yang digambarkan dalam lukisan tersebut tetap digambarkan dengan bentuk wayang.

Dalam perbincangan singkat kami dengan Pak Agus Nuryanto, beliau mengaku mencintai kesenian melukis karena melalui lukisan ia dapat lebih bebas berekspresi. Bersama dengan beliau, kami diajak untuk menginterpretasikan hasil lukisan-lukisan yang dipamerkan. Ketika ditanya mengapa beliau mengambil tema wayang, Pak Agus menjelaskan bahwa kisah-kisah pewayangan secara umum dapat dikaitkan dengan berbagai aspek dalam kehidupan ini. Beliau mengatakan kita bisa berbicara tentang apa saja dengan cerita wayang. Kita bisa berbicara banyak hal mulai dari masalah politik, budaya, agama, dsb. Kombinasi antara wayang dan seni lukis menurutnya dapat membebaskannya dalam mengangkat pemikiran dan pemahamannya tentang berbagai isu atau aspek yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

"Melalui cerita wayang, kita bisa mengangkat berbagai hal yang terjadi dalam keseharian kita. Melalui lukisan, saya bisa lebih bebas dalam menyampaikan." - Pak Agus Nuryanto



 

 

 

Makan Siang, Guyon, dan Proyek Perdana

Setelah selesai menikmati lukisan indah bapak Agus Nuryanto, kami kemudian melaksanakan sholat dzuhur. Setelah itu acara dilanjutkan dengan berbincang santai di depan Gedung Teater Jakarta. Sekali lagi kami saling memperkenalkan diri masing-masing karena ada beberapa dari kami yang belum pernah berkenalan secara langsung. Acara perkenalan berlangsung seru dimana kami harus menyebutkan tujuh fakta (selain nama) mengenai diri kami, sambil menikmati takoyaki yang dibuat khusus oleh Yofi dan Atha.
Kemudian, sambil bergerak pulang, kami mampir ke warung makan untuk berbincang mengenai proyek selanjutnya setelah pembuatan blog sambil makan siang. Dalam proyek tersebut, kami memutuskan untuk membuat film pendek mengenai pendapat masyarakat terhadap wayang yang akan dikepalai oleh Iwan dan dibantu Tiwi.
Hari sudah sore, sudah saatnya kami semua pulang. Kami berpisah sebelum membuat janji untuk bertemu lagi minggu depan untuk melaksanaan proyek perdana kami.

It’s wonderful starting new experiences, new friends, new activities, with the hope of eternity.
 
Terimakasih sudah membaca! :)
 
- Pratiwi Wandansari -

Drupadi: Perempuan di Belakang Para Pandawa

Bagaimana rasanya hidup sebagai seorang perempuan dalam kisah Mahabharata?
Setiap kali membaca kisah Mahabharata, kerap kali saya mempertanyakan hal tersebut. Bagaimana rasanya, ya, jadi istri boyongan yang tak punya banyak pilihan ketika ada seorang ksatria memenangkannya dalam suatu sayembara? Apakah mereka rela-rela saja dibawa menjadi seorang istri—atau bahkan dihadiahkan kepada orang lain untuk dijadikan istri—semata-mata hanya karena lelaki itu adalah pemenang sayembara? Tidakkah mereka memiliki pilihan hatinya sendiri dan ingin bebas menjalin hubungan dengan orang tersebut?
 
Apakah tokoh perempuan dalam Mahabharata selalu seperti itu, menjadi objek sayembara tanpa memiliki kekuatan untuk memenuhi keinginan dirinya sendiri?
 
Dalam kisah Mahabharata yang pernah saya baca, ternyata ada tokoh-tokoh perempuan yang merasakan keraguan, bahkan kesedihan karena norma masyarakat saat itu membuat mereka tidak memiliki banyak pilihan. Lihat saja kisah Dewi Amba yang sempat menolak dipersembahkan pada Wicitrawirya oleh Bhisma karena telah tertambat hati pada Salwa. Namun, saat ia kembali pada Salwa, ia justru mendapat penolakan karena dianggap telah menjadi hak orang lain, yaitu Bhisma. Amba berusaha  untuk tidak menelan bulat-bulat nasibnya sebagai seorang istri boyongan dan masih berusaha memperjuangkan pilihannya sendiri.
 
Tokoh perempuan lain yang menjadi sorotan dalam kisah Mahabharata adalah Drupadi atau Pancali. Ia dinamakan seperti itu sebab ia adalah putri dari Kerajaan Pancala yang dipimpin oleh Raja Drupada. Arjuna dan Bima berhasil memenangkannya dalam sebuah sayembara melawan Patih Gandamana, paman Drupadi.  Kelak, ia akan menjadi istri dari Yudhistira, sulung Para Pandawa. Dalam Mahabharata versi India, disebutkan bahwa ia adalah istri dari kelima Pandawa. Iya, satu istri dengan lima suami.
Drupadi memiliki peran penting di dalam kisah Mahabharata. Bukan hanya karena dia adalah istri dari Para Pandawa, namun juga karena ia adalah salah satu tokoh yang menyulut meletusnya perang Bharatayudha. Ia adalah perempuan yang hidup dengan Para Pandawa di masa pengasingannya di Hutan Wanamarta. Bersama dengan suaminya, ia membangun kerajaan Amarta selepas disingkirkan secara licik dari Kerajaan Hastinapura oleh Kurawa. Drupadi merasakan jatuh-bangunnya hidup dengan Para Pandawa. Ia adalah wanita yang rela berkorban untuk suaminya, namun juga sekaligus mampu mengarahkan langkah Para Pandawa untuk maju perang.
 
Permainan Dadu dengan Kurawa
Momen yang paling mempengaruhi hidup Drupadi mungkin adalah saat ia dipermalukan di Balairung Kerajaan Hastinapura usai permainan dadu yang dilakukan oleh Pandawa dan Kurawa. Saat itu, pihak Kurawa sengaja mengundang Pandawa ke Hastinapura sebagai balasan atas undangan Pandawa kepada mereka ke Amarta. Disana, mereka diajak bermain judi oleh Sengkuni—Paman dari Para Kurawa. Yudhistira yang saat itu berniat menghormati pihak yang mengundangnya, setuju dengan ajakan Sengkuni untuk bermain dadu. Sayangnya, Pandawa kalah dalam permainan itu disaat mereka mempertaruhkan kerajaan masing-masing beserta isinya.

Saat itu, Dursasana (salah satu Kurawa) yang merasa telah menang,  memaksa Drupadi untuk membuka busananya. Ia berusaha menelanjangi Drupadi di depan mata banyak orang. Bukan hanya itu, Drupadi yang telah malu juga harus merasakan kekecewaan yang mendalam karena suaminya saat itu hanya diam tak berkutik melihat dirinya dilecehkan. Beruntung pada saat itu, dengan bantuan Sri Khrisna (kerabat Pandawa yang merupakan titisan Dewa Wisnu) membantu Drupadi dengan kekuatannya, sehingga busana perempuan itu tidak bisa lepas dari tubuhnya. Drupadi meratapi sikap Para Pandawa pada saat itu. Ia tidak habis pikir mengapa lelaki yang telah banyak membuatnya berkorban tidak menolong dirinya. Ya, Drupadi tahu ksartria memang harus sportif. Apabila mereka kalah, mereka harus mengakuinya dengan perbuatan. Dengan perasaan marah, Drupadi bersumpah pada saat itu untuk tidak menggelung dan mengeramasi rambutnya sebelum dapat keramas dengan darah Dursasana.
Kejadian itulah yang membuat Drupadi geram dan membuatnya menjadi istri yang berbeda dari perempuan pada umumnya. Ia telah memafkan Pandawa, namun kejadian usai permainan dadu itu membuatnya tidak tinggal diam. Dengan tidak mengurangi rasa hormatnya kepada suaminya, Drupadi berubah menjadi perempuan yang lebih tegas, mandiri, dan berani. Setelah terbebas dari masa pengasingan selama 12 tahun ditambah 1 tahun penyamaran di Wirata, Drupadi menyerukan gugatannya kepada Pandawa.
Drupadi lah yang secara lantang mengingatkan Pandawa mengenai kecurangan-kecurangan Kurawa. Ia pula yang membakar dada Para Pandawa untuk mau maju mengambil kembali hak-hak kerjaan yang dirampas oleh Kurawa dengan liciknya. Ia pula lah yang mengingatkan Pandawa tentang janjinya saat dipermalukan dulu, hal yang membuat Bima tergerak untuk menuntaskan janji Drupadi.
Drupadi membuat Para Pandawa tergerak untuk menuntut Kurawa agar mengembalikan hak-hak mereka, hingga meletus lah perang Barathayudha yang dahsyat itu.
*
 
Drupadi adalah tokoh yang memiliki dua sisi yang bertolak belakang, namun hidup dalam satu jiwa. Dia adalah istri yang lembut, setia, dan penuh pengabdian dengan suaminya. Di sisi lain dia juga mampu secara tegas menyampaikan pendapatnya, berani dalam mengambil tindakan, dan bahkan memberikan masukan kepada suaminya, Para Pandawa. Mungkin, Drupadi adalah sosok yang cocok untuk menggambarkan kutipan ini:
“Behind every great man, there is a great woman.”
 
-Sawitri Wening-

Rama vs Laksmana

Rama vs Laksmana? Apakah itu? Salah satu tim liga champion?

Haha.

Bukan.



Mereka adalah salah satu tokoh utama wayang dalam cerita epik 'Ramayana'. Untuk yang belum tahu apa itu Ramayana, kisah ini beritanya tentang perang antara dua negara (Ayodya, tempat asal Rama  dan Alengka, negeri kekuasaan Rahwana). Perang tersebut meletus karena Rama dan Rahwana memperebutkan seorang wanita. Dia adalah istri dari Rama, Dewi Sita atau Shinta. Terlebih, ketika Rahwana mengetahui bahwa Sita adalah titisan Dewi Widowati yang telah lama diincarnya. 

Peperangan itu bermula dari penculikan Sita yang dilakukan oleh Rahwana. Raja angkara murka itu menculik Sita karena doi ingin menggulingkan kekuasaan Rama yang terkenal memiliki banyak kelebihan. Bukan hanya itu, Rahwana ternyata juga berniat merebut Sita dari tangan Rama karena ia tergoda dengan kecantikan dan pembawaan Sita. Begitulah Rama yang marah karena istrinya diculik meminta bantuan kepada bangsa Kera (Wanara) yang dipimpin oleh Sugriwa dan komandornya Hanoman. Singkat cerita, Sita berhasil diselamatkan dengan sukses dan gemilang. 


Agak-agak mirip sama ceritanya Troya ya? Ya... kurang lebih di bagia perebutan wanitanya hingga membuat dua negara besar perang sama. Badaya, kalau di Troya, Helene (perempuan yang diperebutkan) dengan sukarela menyerahkan diri kepada Paris dari Negara Troya. Suami Helene, Menelous dari Yunani, tidak  diterima istrinya diambil, dan tercetuslah perang Troya selama 10 tahun dengan akhir kemenangan di pihak Yunani dan Helene berhasil direbut kembali.

Kembali ke pembahasan Ramayana. Lalu, mana Laksmana?

Dia adalah adik dari Sri Rama, yang ingin dijodohkan oleh saudara dari Sita. Tapi, karena ia sangat setia dengan kakaknya, Laksmana memutuskan untuk mengikuti kemanapun kakaknya pergi, termasuk ketika Rama diasingkan dari kerajaan gegara diusir oleh Dewi Kekayi, salah satu istri kesayangan ayahnya, yang ingin anak kandungnya (Bharata, salah satu adik Rama & Laksmana) untuk menjadi Raja pengganti. 

Kenapa penulis ngefans dengan Laksmana? Begini, Laksmana diceritakan sebagai sosok 'kedua' alias sosok 'bayangan' dari si tokoh besar Rama. Dia memiliki kualitas-kualitas suami idaman yang cukup mirip dengan Rama. Namun, Laksmana masih memiliki sifat-sifat manusiawi yang mengimbanginya. Misalnya, Laksmana cukup gampang naik darah bila ada hal-hal yang melanggar prinsipnya. Ketika Raja mengusir Rama ke hutan gegara diminta sama Dewi Kaikeyi yang tidak setuju Rama menjadi raja pengganti, Laksmana  marah kepada Dewi Kaikeyi karena menurutnya hal tersebut tidak adil untuk Rama. 

Kenapa tidak adil? Karena sebelum Raja dan ketiga istrinya memiliki anak, rupanya sang Dasaratha menjanjikan Kaikeyi untuk menjadikan anak kandungnya (Bharata) sebagai raja pengganti. Berhubung menurut Dasaratha yang paling keren itu Rama, dia ingin mengangkat Rama menjadi raja. Namun, terhalang janji oleh Kaikeyi hingga Rama harus angkat kaki dari Ayodhya. Sementara itu, Laksmana memutuskan untuk ikut dengan Rama dan Sita pergi menuju hutan Dandaka.

Di tengah pengasingan di Hutan Dandaka, Sita melihat kijang kencana. Karena jatuh hati dengan kijang itu, ia meminta Rama untuk menangkapkannya. Laksmana diberi pesan oleh Rama agar tidak meninggalkan Sita, apapun yang terjadi. Namun ketika tiba-tiba terdengar suara teriakan minta tolong, Sita meminta Laksmana untuk mencari Rama. Tentu saja, Laksmana yang sudah diamanahkan untuk menjaga Sita, menolak permintaan kakak iparnya itu. Melihat sikap Laksmana, Sita justru curiga kalau adik iparnya itu menaruh hati padanya dengan membiarkan Rama dalam bahaya. Laksmana membantah kecurigaan Sita dengan berbagai cara, hingga pada akhirnya Laksmana menyerah dan menuruti perkataan Sita. Terakhir diketahui bahwa kijang itu adalah jelmaan dari suruhan Rahwana dan saat mereka lengah, perempuan itupun diboyong oleh raja angkara murka itu ke Negeri Alengka. Ketika Laksmana bertemu dengan Rama yang masih sibuk mencari kijang, Laksmana dimarahi habis-habisan oleh Rama (sumpah kasian banget, bagai makan buah simalakama deh, kesini kena marah kesana kena damprat, ckckck) karena meninggalkan Sita. Kebayang kan perasaan Laksmana di posisi itu? Betapa ngamuknya dia sama Sita dan Rama, hanya karena saking hormatnya, doi tidak berani bicara apapun.


Begitulah Laksmana, penulis merasa wataknya yang gampang naik darah terasa mirip dengan Laksmana, hahaha.

Berbeda dengan Laksmana, sifat Rama dari awal selalu digambarkan bagai manusia dewa yang paling mulia. Tetapi, ternyata di bagian akhir baru lah terlihat watak aslinya Rama yang 'gila' kuasa dan sombong. Tahukah kamu setelah Rama sukses mengalahkan Rahwana, dia bersikap dingin dengan Sita? Taukah kamu bahwa Rama sempat tidak percaya kalo Sita setia dan tidak pernah sekalipun disentuh sama Rahwana? Bahkan, Rama tetap bertampang dingin ketika Sita mengajukan diri untuk dilempar ke api sebagai pembuktian kesucian dirinya? Dari salah satu sumber yang penulis baca, setelah Rama menjadi Raja, dia tidak percaya lagi sama Sita hanya karena rakyatnya tidak mempercayai kalau Sita masih suci, dan Rama mengasingkan Sita ke hutan saat ia sedag hamil. Hal tersebut membuat Sita putus asa dan menenggelamkan dirinya ke dalam bumi sebagai upaya pembuktiannya bahwa dia tidak pernah disentuh oleh lelaki lain selain suaminya.

Begitulah Rama. Dibalik keagungannya (ternyata) tersimpan berbagai hal, yang (menurut penulis) bila ditinjau dari paham supresinya Sigmund Freud, berbagai kekurangan Rama baru keluar setelah tujuan utamanya tercapai. Selama dia masih bukan siapa-siapa, dia 'memendam' segala macam sifat 'adharma' nya dan ketika dia sudah berkuasa keluarlah sifat-sifat jelek yang ga manusiawi.

Jadi, pilih Rama atau Laksmana? 

Penulis sih pilih yang jujur apa adanya daripada yang dipendam-pendam. :p

Terimakasih sudah membaca! :)


-Pratiwi Wandansari-

Arjun: The Warrior Prince (Review Film)

Arjun: The Warrior Prince mengisahkan tentang perjalanan Arjuna dalam menjadi seorang ksatria yang sesungguhnya.  Untuk mencapai mimpinya itu, Arjuna dan keempat saudaranya mengalami berbagai macam kejadian yang mendewasakan dan menguatkan mereka. Mulai dari pengajaran yang diberikan oleh Drona, pengembaraan sebagai brahmana, pertapaan di puncak Himalaya, serta pengasingan selama 13 tahun akibat perjudian Yudistira dengan Duryudana dari pihak Kurawa. Film yang ditayangkan pada tahun 2012 di India ini fokus menyorot pada perselisihan antara Pandawa dan Kurawa sebagai penerus tahta kerajaan Hastinapura. Tentu saja, dalam film ini Arjuna lah yang menjadi tokoh sentralnya.
 
Setidaknya, menurut saya ada beberapa hal yang menjadikan film ini layak tonton bagi para penikmat kisah Mahabharata. Pertama, penyampaian cerita yang menarik dengan sentuhan teknik animasi modern studio Walt Disney dan UTV Motion Pictures. Berbeda dengan film-flim animasi produksi India yang pernah ada sebelumnya, film ini berusaha menggabungkan teknik animasi 2D dengan 3D dengan begitu halus. Hal inilah yang menjadi salah satu kelebihan animasi ini. Selain itu, film ini juga menyajikan penyampaian narasi dengan cara yang unik, namun mudah dipahami tanpa menghilangkan esensi dan daya tarik dari kisah Mahabharata. Selain itu, film ini juga dapat dinikmati bagi semua usia, tidak terbatas pada anak kecil ataupun orang dewasa saja.

Meskipun begitu, film Arjun: The Warrior Prince akan nampak sedikit membingungkan bagi mereka yang belum mengenal kisah Mahabharata sama sekali. Mengapa? Karena ada beberapa detil cerita yang terlewatkan, khususnya penjelasan mengenai tokoh-tokoh yang muncul dalam film tersebut. Tambahan pula, film ini tidak mampu menghadirkan kisah Mahabharata secara utuh dan lengkap. Meringkas kisah Mahabarata yang begitu kompleks menjadi sebuah film yang berdurasi sekitar 90 menit memang merupakan pekerjaan besar tersendiri yang sulit dilakukan dengan baik.

Kesimpulannya, secara umum film ini merupakan sebuah karya modern yang layak tonton bagi siapa saja. Dengan mengabaikan detil cerita yang terlewatkan, kita tetap dapat menikmati perjalanan hidup Arjuna dan keempat saudaranya melalui animasi yang digarap dengan cukup baik. Meski bukan sebuah karya yang sempurna, film ini dapat menjadi rekomendasi bagi mereka yang tertarik pada kisah pewayangan Mahabharata. Jadi, selamat menonton! J
 
 
 
- Atha Rasyadi -

Pertemuan Perdana: Museum Wayang

Berdirinya "Komunitas Wayang Kunta Wijaya" diawali dengan berkumpulnya kami yang memiliki ketertarikan yang sama terhadap kebudayaan wayang  di sebuah grup messenger. Melalui wadah virtual tersebut, kami berbagi cerita dan pengetahuan dengan membahas sedikit hal mengenai kisah pewayangan. Tidak puas berdiskusi melalui grup virtual, kami pun merencanakan pertemuan perdana. 

Pada tanggal 21 September 2013 kemarin, pertemuan perdana kami dilakukan di Museum Wayang, Kota Tua. Tanggal tersebut sekaligus kami tetapkan sebagai hari lahirnya komunitas wayang kami. Sayangnya, tidak semua anggota kami dapat hadir.Acara ini diikuti oleh enam orang anggota komunitas kami yang tidak semuanya pernah bertemu dan saling mengenal sebelumnya. Meskipun belum banyak yang bisa hadir dalam pertemuan perdana kami, namun acara kumpul santai tersebut berjalan dengan seru.

Setelah saling berkenalan, kami melanjutkan kegiatan acara dengan berkeliling Museum Wayang yang didirikan pada tahun 1640 dengan nama asli De Oude Hollandsche Kerk (Gereka Lama Belanda). Setelah mengalami perombakan beberapa kali, bangunan tersebut akhirnya diresmikan sebagai museum pada 13 Agustus 1975 oleh Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Bang Ali Sadikin. Berbagai macam wayang nusantara dan mancanegara dipamerkan di museum ini. Banyak dari wayang-wayang tersebut dipamerkan berdasarkan lakon yang ada dalam kisah pewayangan ataupun yang biasa disampaikan oleh para dalang saat pertunjukkan wayang. 


Di dalam museum, kami menelusuri setiap ruangan dan mendapati begitu banyak variasi dari wayang yang tidak kami kenal, sekaligus saling berbagi cerita mengenai kisah wayang-wayang yang dipamerkan tersebut. Kami juga sempat berdiskusi dengan seorang pegawai museum wayang perihal kisah wayang dari India dan perbedaannya dengan kisah wayang dari india. Tidak hanya itu, kami juga mendapati wayang yang berasal dari luar negeri, seperti wayang Cina, Malaysia, bahkan dari Italia. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik dari museum ini, karena seperti memberikan komparasi terhadap wayang kita dan perbedaan budaya yang ada membuat bentuk wayang di berbagai Negara berbeda satu sama lainnya.

Setelah puas keliling museum, kami pun singgah di sebuah tempat makan di daerah Taman Fatahillah untuk makan siang. Sembari menikmati makanan, kami juga berdiskusi mengenai bagaimana cara menyebarkan kisah-kisah pewayangan kepada masyarakat, khususnya anak muda agar lebih menarik dan mudah diterima. Berbagai ide muncul, seperti membuat permainan kartu yang bertemakan wayang, membuat dongeng bertemakan wayang untuk anak-anak, menulis di blog, hingga merencanakan kunjungan-kunjungan ke pementasan wayang. 

Terakhir, tidak lupa kami juga bertukar pikiran mengenai nama untuk komunitas tercinta kami ini, hingga ditetapkanlah nama "Komunitas Wayang Kunta Wijaya". Nama komunitas ini diambil dari nama pusaka yang diceritakan dalam kisah Mahabharata, yang dimiliki oleh Adipati Karna. Pusaka yang tidak dapat dipungkiri kehebatannya, hingga siapapun yang terkena pusaka itu akan mati seketika. Dalam perang Bharatayudha dikisahkan Gatotkhaca gugur oleh pusaka Kunta Wijaya yang dilepaskan oleh Adipati Karna. 

Kami sedang berusaha agar komunitas ini semakin hidup. Semoga apa yang ingin kami capai melalui Komunitas Wayang Kunta Wijaya kedepannya dapat terwujud melalui berbagai kegiatan, seperti gathering, diskusi, tulisan, dan lainnya. Oleh karena itu, untuk kamu yang tertarik dengan wayang dan ingin membantu menyebarkannya, jangan ragu untuk ikutan komunitas kami, ya. Salam! :)


-Triawan Susetyo -